UNKLAB di Tiwoho: Nyiur Melambai berikan Harapan Baru di Desa Pesisir Terluar Minahasa Utara

Provinsi Sulawesi Utara merupakan wilayah penghasil kelapa kedua terbesar di Indonesia. Nomor satunya Provinsi Riau. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat produksi kelapa di Indonesia bertengger di 2,87 juta ton. Riau menyumbang 408.000 ton, sementara Sulawesi Utara 270.400.

Khusus Sulawesi Utara, sejumlah penelitian menunjukan bahwa para petani di sebagian besar sentra kelapa pada umumnya lebih cenderung mengolah kelapa menjadi kopra dan kelapa butiran. Masih banyak petani yang belum dapat memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan industri minyak kelapa. Artinya perbandingan antara potensi dan produksi belum seimbang. Tak heran banyak desa-desa penghasil kelapa justru tidak menikmati hasil maksimal.

Lalu ada sebuah kelompok kecil petani. Jumlahnya hanya sembilan orang. Mereka berasal dari Desa Tiwoho. Sebuah wilayah pesisir terluar dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara, di Tanah Nyiur Melambai. Di sana banyak kelapa. Bahkan di beberapa lokasi, sejauh mata memandang yang terlihat hanya lambaian daun nyiur. Setelah itu pantai. Tidak ada lagi daratan. Kelompok ini mulai berani merajut asa untuk memperbaiki kualitas hidup. Tak seharusnya orang miskin hidup di atas tanah yang begitu kaya.

Bicara kelapa, dari akar hingga pucuk daun terakhir bisa menghasilkan sesuatu. Tidak ada yang terbuang. Semua bisa jadi duit. Itu sederhananya. Sesekali, cobalah jalan-jalan ke Desa Tiwoho. Sekedar lewat atau pun melepas penat. Terlihat jelas, kesejahteraan yang belum tuntas. Banyak yang masih berkutat di bawah garis kemiskinan. Minim fasilitas. Alasannya ya itu tadi, status sebagai desa, kampung, atau dusun. Padahal masyarakatnya dimanja dengan kelapa, sebuah komoditas penghasil uang.

Pak Daniel Sundana. Ia adalah Ketua Kelompok Sabata 23. Memimpin sembilan anggota. Semua petani kelapa. Masing-masing punya lahan sendiri. Anita Patolenganeng, Siske Mamuko, Diana Patras, Yeri Regar, Alfano Malendes, Charly Maramis, Sovia Muhammad, Bepy Matheos dan Terry Matheos. Itu sembilan nama anggota kelompok itu.

Pak Daniel itu kecil orangnya. Tidak terlihat otot kekar layaknya seorang petani kelapa. Kecuali kulit agak legam terbakar matahari. Ia cenderung lebih pendek dibandings ukuran rata-rata. Tapi satu hal yang beda. Ia punya mimpi besar. Ia punya cita-cita hebat.

“Kita suka mo punya pabrik minya kalapa sandiri kwa. For mo perbaiki tu kehidupan,” kata Pak Daniel.

Artinya, saya pengen punya pabrik minyak kelapa sendiri untuk memperbaiki kehidupan. Sah-sah saja. Dia orang hebat. Berani bermimpi sementara banyak yang pasrah diri, menanti keajaiban yang entah kapan datang.

Saat ini Kelompok Sabata 23 sedang berjuang untuk mendapat ijin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Tidak mungkin diusahakan sendiri. Harus dibantu karena proses agak ribet. Seijin Tuhan, mereka bertemu “Orang Samaria yang Baik Hati”. Universitas Klabat (UNKLAB). Instituti pendidikan ini somehow, terkoneksi dengan kelompok Pak Daniel. Kebetulan Desa Tiwoho merupakan desa binaan UNKLAB. Digelarlah pelatihan bertajuk “Penyuluhan Keamanan Pangan”. Tempatnya sangat representative. Di Hotel Grand Luley Manado. Sepuluh orang termasuk Pak Daniel, datang dalam program dua hari tersebut. Di sana mereka dibekali dengan pengetahuan dasar tentang bagaimana mengolah produk pangan yang sesuai dengan standard pemerintah. Gunanya untuk komersialisasi produk. Harus ada sertifikat. Unsur halal, kesehatan, hygienic, gizi, kebersihan, sterilisasi produk, standar kemasan, serta semua yang berkaitan dengan keamanan hasil produksi.

Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara pun digandeng. Pak Daniel dan kelompoknya antusias. Ada 2 jenis ujian. Sebelum dan sesudah seminar. Passing score lumayan tinggi juga. Minimal 70. Masuk akal, karena ini issue penting terkait produksi pangan yang layak dijual ke publik. Hari kedua, setelah semua materi selesai, sepuluh anggota Sabata 23 dinyatakan lulus. Artinya they are ready to go.

Saat ini produksi mereka belum banyak. Seminggu tiga kali. Sekali produksi hanya bisa 50 biji kelapa. Kalau jadi, kira-kira 4 liter. Seminggu 12 liter. Sebulan 48 liter. Semua dikerjakan manual alias pake tangan. Mesin ada tapi serba tradisional. Baru sebatas pemakaian rumah tangga. Itupun tidak banyak.

Komersialisasi? Jauh api dari panggangnya. Untuk sekarang.

The Good Samaritan !!

Ya ada Universitas Klabat lewat Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang akan mulai membangun jematan harapan bagi Pak Daniel dan kelompoknya. Jika proses memperoleh sertifikat PIRT sudah selesai, langkah berikut siap diambil. UNKLAB berkomitmen untuk mendorong industri rumahan ini semaksimal mungkin. Jalan tentu masih panjang. Terjal dan berliku. Tapi seribu langkah dimulai dengan satu langkah awal. UNKLAB sedang mengusahakan untuk mendatangkan mesin-mesin dengan kemampuan produksi massif. Saat ini kendala utama tinggal mesin produksi. Bukan hal mudah karena hampir semua harus didatangkan dari Pulau Jawa. Jika berhasil, produksi akan melonjak drastis. Dari 48 liter sebulan, bisa naik jadi ratusan liter. Artinya roda produksi mulai berputar. Jika dikelola dengan professional, plafon produksi bisa jadi tidak terbatas. Tapi nantilah itu.

Terpenting sekarang adalah bagaimana Pak Daniel dengan Sabata 23 memanfaatkan kesempatan emas yang difasilitasi UNKLAB. Proses memang masih panjang. Tapi paling tidak, mulai hari ini setiap lambaian nyiur di Desa Tiwoho akan jadi harapan baru untuk Kelompok Sabata 23. Tidak menutup kemungkinan, harapan itu pun bisa menjadi milik setiap penduduk di desa itu.